Perang Lawan Pornografi, Bagaimana Strateginya?



Diskusi mengenai pornografi kembali hangat di perbincangkan. Kali ini bukan mengenai materi (konten) pornografinya, melainkan begitu beratnya ancaman hukuman bagi mereka yang menyebarluaskan informasi terkait dengan pelanggaran kesusilaan (asusila).

Mereka yang terbukti menyebarluaskan informasi tersebut dapat dipidana pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)/Pasal 27 ayat 1, berdasarkan Undang-Undang Informasi dan TransaksiElektronik (ITE).

Konten pornografi memang bisa disaring, tetapi soal efektifitas, tunggu dulu. Beberapa
hal yang dapat menjadi penyebab keefektifan tersebut tidaklah melulu soal kecanggihan piranti lunak yang digunakan. Siapapun memang bisa mengunduh dan menginstal berlapis piranti lunak yang berfungsi memblok atau menyaring konten pornografi dari Internet, baik pada tingkat komputer personal (PC), server pada warnet hingga Internet Service Provider (ISP) sekalipun.

Tetapi sangatlah naïf bila kita percaya bahwa konten pornografi di Internet dapat efektif dihalau hanya dengan melakukan pemblokiran ataupun penyaringan secara teknologi. Alasannya, bisa berangkat dengan mengkaji sejumlah aspek tren perilaku dan bisnis pornografi berikut ini.

Berdasarkan sebuah hasil riset yang dilansir oleh TopTenReviews, setiap detiknya lebih dari 28 ribu orang yang mengakses pornografi di Internet dengan total pengeluaran mencapai lebih dari US$ 3 ribu. Data tersebut juga menyebutkan setidaknya tiap detik
ada 372 pengguna Internet yang mengetikkan kata kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi.

Adalah fakta bahwa masalah seks (pornografi) adalah topik nomor 1 (satu) yang dicari di Internet, menurut penelitian dari Sexual Recovery Institute. Studi lain juga menunjukkan bahwa 60% kunjungan di internet adalah menuju ke situs porno (MSNBC/Stanfford/Duquesne). Ilustrasi tersebut menunjukkan betapa dasyatnya demam pornografi melalui internet. Tidaklah mungkin 420 juta situs tersebut dibendung hanya dengan menggunakan Pasal 27 ayat 1 ITE. Banyak cara untuk menyebarluaskan materi pornografi dengan menggunakan internet selain daripada melakukan pemblokiran atas sistus-situs pornografi misalkan saja dengan komunikasi secara peer to peer.

Teknologi

Khusus untuk perilaku pengguna Internet di Indonesia, Google Trends memaparkan sejumlah data. Ternyata meskipun jumlah pengguna Internet masih terkonsentrasi di ibukota, Jakarta hanya menduduki posisi ke-5 kota dengan jumlah pencari konten dewasa dengan memasukkan kata kunci yang sangat umum, ‘sex’. Setelah Jakarta, kemudian disusul oleh Bandung. Adapun jawaranya adalah kota Semarang, kemudian Yogyakarta, Medan dan kemudian disusul Surabaya.

Jika kita mencari dengan kata kunci ‘sex’ di Google, maka akan muncul 662.000.000 situs, 568.881 video, 157.000.000 gambar dan 111.057.569 blog. Maka dapatlah terbayang, bagaimana upaya untuk menyaring informasi dari sekian banyak sumber tersebut. Apalagi jika harus dipilah antara informasi ‘sex’ yang layak untuk keperluan pendidikan kesehatan, ilmu bercinta ataupun sekedar sebagai pemuas birahi belaka.

Industri pornografi bukanlah industri kacangan. Bahkan pada 2006 saja, gabungan penghasilan (revenue) dari sejumlah perusahan teknologi papan atas semisal Microsoft, Google, Amazon, eBay, Yahoo! dan Apple, tak akan mampu mengimbangi pendapatan dari bisnis pornografi dengan pemasukan mencapai lebih dari US$ 97 miliar tersebut.

Dengan perputaran uang yang besar dan persaingan yang ketat, maka industri pornografi, yang diyakini sebagai industri online paling menguntungkan, kerap menjadi perintis dalam kelahiran ataupun optimalisasi atas sejumlah teknologi baru yang kemudian setelah itu diadopsi secara luas dalam dunia Internet. Sejumlah teknologi tersebut, menurut penelitian yang dilakukan terpisah oleh USA Today, Adult Video News dan Nielsen/NetRatings, terbagi atas teknologi yang berdampak positif dan negatif.

Teknologi yang positif adalah video-audio streaming, layanan berbayar video-ondemand, piranti lunak digital-rights management, piranti lunak geo-location (program pelacak lokasi pengguna Internet), konten tersegmentasi dan layanan konten nirkabel melalui ponsel. Adapun teknologi yang negatif, setidaknya bagi sebagian kalangan, adalah spam, iklan pop-ad dan cookies (program pelacak aktifitas di Internet).

Bahkan dipercaya pula bahwa layanan tayangan video olahraga dan musik yang dapat dinikmati melalui ponsel saat ini adalah hasil penggodokan yang dilakukan pada industri pornografi sebelumnya. Termasuk pula teknologi yang dapat menyajikan konten dan iklan di PC atau piranti nirkabel, berdasarkan demografi dan perilaku penggunanya.

Jadi sudah sewajarnya kita mengkaji ulang, bagaimana agar sebuah teknologi yang lawas dan biasa saja, seperti piranti lunak penyaring (filter) konten, dapat berhadap-hadapan dengan para jawara penghasil teknologi konten masa depan. Ini ibarat David melawan Goliath!

Keluarga

Maka tak salah apabila kita mengingat kembali himbauan Bill Clinton suatu ketika saat masih menjabat sebagai Presiden AS, “we must recognize that in the end, the
responsibility for our children's safety will rest largely with their parents. Cutting-edge technology and criminal prosecutions cannot substitute for responsible mothers and fathers. Parents must make the commitment to sit down with their children and learn together about the benefits and challenges of the Internet. And parents, now that the tools are available, will have to take upon themselves the responsibility of figuring out how to use them."

Himbauan tersebut masih relevan hingga saat ini. Janganlah kita kemudian terhempas pada rasa aman yang semu, setelah kita dibombardir dengan berbagai jargon dari banyak pihak, bahwa mengatasi pornografi seakan bisa dilakukan (hanya) dengan teknologi yang ada saat ini. Bahkan jika memang masih diperlukan, berbagai jenis piranti lunak penyaring konten pornografi tersebut, tersedia di Internet dengan berbagai varian kualitas dan kelengkapan fitur, dari yang berbayar maupun tidak.

Meskipun demikian, haruslah diingat bahwa justru peran orang-tua dan guru menjadi sangat dominan dan memegang peran utama, tak akan tergantikan oleh berbagai jenis piranti lunak yang ada.

Membuat program pelatihan ataupun edukasi agar orang tua dan guru tidak menjadi ‘gaptek’ dan kemudian mampu dan mau membimbing anak atau muridnya ketika menggunakan Internet, akan jauh lebih ampuh ketimbang sekedar mengadakan proyek pembuatan ataupun instalasi program komputer penyaring konten pornografi yang efektifitasnya masih diperdebatkan. Pendekatan persuasif dengan mengajarkan anak anak dan atau adik-adik kita menggunakan internet untuk kepentingan pendidikan adalah metode jitu untuk meredam konten negatif (pornografi) tersebut. Misalkan dengan memperkaya kandungan situs lokal yang berisikan informasi yang berguna. Cara lainnya adalah dengan memperkenalkan situs-situs yang dapat menjadi mitra anak-anak kita dalam ber-Internet.

Himbauan tersebut masih relevan hingga saat ini. Janganlah kita kemudian terhempas pada rasa aman yang semu, setelah kita dibombardir dengan berbagai jargon dari banyak pihak, bahwa mengatasi pornografi seakan bisa dilakukan (hanya) dengan teknologi yang ada saat ini. Bahkan jika memang masih diperlukan, berbagai jenis piranti lunak penyaring konten pornografi tersebut, tersedia di Internet dengan berbagai varian kualitas dan kelengkapan fitur, dari yang berbayar maupun tidak.

Meskipun demikian, haruslah diingat bahwa justru peran orang-tua dan guru menjadi sangat dominan dan memegang peran utama, tak akan tergantikan oleh berbagai jenis piranti lunak yang ada.

Membuat program pelatihan ataupun edukasi agar orang tua dan guru tidak menjadi ‘gaptek’ dan kemudian mampu dan mau membimbing anak atau muridnya ketika menggunakan Internet, akan jauh lebih ampuh ketimbang sekedar mengadakan proyek pembuatan ataupun instalasi program komputer penyaring konten pornografi yang efektifitasnya masih diperdebatkan. Pendekatan persuasif dengan mengajarkan anak anak dan atau adik-adik kita menggunakan internet untuk kepentingan pendidikan adalah metode jitu untuk meredam konten negatif (pornografi) tersebut. Misalkan dengan memperkaya kandungan situs lokal yang berisikan informasi yang berguna. Cara lainnya adalah dengan memperkenalkan situs-situs yang dapat menjadi mitra anak-anak kita dalam ber-Internet.

Kiranya kita bisa lebih bijaksana dalam menyikapi fakta pornografi, tanpa harus membatasi kesempatan anak-anak atau adik-adik kita dalam mengembangkan dirinya. Apalagi Undang-Undang Dasar Pasal 28 C UUD 45 mengaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.''

Undang-Undang

Satu kenyataan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini telah menjelma menjadi filter informasi yang melanggar susila (pornografi). Padahal apa yang tertuang di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut jauh lebih luas daripada pornografi itu sendiri. Mulai dari perbuatan yang diperkenankan sampai dengan perbuatan yang dilarang seperti jaminan terhadap konsumen, bukti yang sah dihadapan hukum, penggunaan nama domain, penyelenggaraan sistim elektronik sampai dengan ketentuan mengenai pidana (perbuatan yang dilarang) seperti penyebaran informasi yang melanggar susila, mengandung SARA, penyusupan dan pengrusakan terhadap suatu sistim elektronik.

Hal tersebut perlu segera diluruskan mengingat kegiatan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi (sistim elektronik) memerlukan sebuah payung hukum. Bahwa undang-undang ini harus disempurnakan tentu kita semua setuju. Sebagai suatu proses undang-undang ini telah memberikan dasar bagi kegiatan yang memanfaatkan teknologi elektronik.

Munculnya gagasan untuk melakukan filtering secara membabi buta agaknya tidak bisa
efektif dilakukan. Satu kenyataan bahwa informasi di internet tidak sebatas materi yang melanggar susila (pornografi). Sehingga upaya pemerintah menjadikan Undang-Undang ini sebagai suatu alat untuk mencegah informasi tersebut teagaknya tidak akan berhasil karena bertentangan nature dari teknologi itu sendiri yang setiap saat mengalami perkembangan. Buktinya, sampai dengan hari ini meskipun dilarang informasi yang dianggap melanggar susila tersebut tetap bisa diakses oleh masyarakat.

Upaya untuk melakukan filter melalui cara dan strategi yang represif tidak akan membawa dampak yang positif bagi anak-anak kita. Jauh lebih efektif melalui cara dan strategi persuasif yakni dengan melakukan edukasi (penerangan) kepada masyarakat melalui forum informal atau formal, atau melalui saluran edukatif lainnya seperti pembuatan buku panduan berinternet.Perang Lawan Pornografi, Bagaimana Strateginya?


Dikutip dari : Myesia.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons